Oleh: Meipince Atas, SST
KEPULAUAN SANGIHE || Journalistpolice.com – Di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, stunting bukan sekadar masalah gizi — ia juga persoalan ekonomi yang membebani keluarga dan mengancam masa depan anak-anak.
Meskipun angka stunting di Sangihe telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, data lokal dan dinamika pembiayaan kesehatan menunjukkan bahwa beban out-of-pocket (OOP) tetap menjadi penghambat serius dalam pencegahan dan intervensi jangka panjang.
Tantangan Lokal: dari Angka ke Realitas
Pemerintah Kabupaten Sangihe menargetkan penurunan angka stunting hingga 13,5 persen, meski pada satu titik prevalensinya berada di angka sekitar 22,77%. Berdasarkan catatan e-PPGBM (Elektronik Pencatatan Gizi), pada awal 2025 masih tercatat 105 anak stunting di berbagai kecamatan.
Upaya pencegahan pun sudah sangat konkret: pemerintah daerah membangun pos-pos gizi di setiap desa dan meluncurkan program “Senin Ceria” yang secara simbolis menandai kunjungan tiap kepala dinas ke keluarga anak stunting.
Selain itu, Bupati Sangihe mendorong inovasi produk perikanan sebagai sumber protein lokal — mengingat potensi perikanan di kabupaten kepulauan ini sangat besar — agar asupan gizi anak bisa meningkat. Namun, intervensi ini belum sepenuhnya menyentuh akar masalah: akses gizi berkualitas dan layanan kesehatan dini sering kali masih terkendala daya beli rumah tangga.
Beban Ekonomi Keluarga: OOP dalam Bayangan Stunting
Di balik angka stunting, ada realitas finansial yang menekan keluarga miskin. Meski Indonesia sudah memiliki Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), studi terbaru menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam pembiayaan kesehatan masih nyata: sebagian rumah tangga masih menanggung pengeluaran kesehatan yang besar sehingga masuk kategori catastrophic health spending.
Kondisi ini menjadi relevan bagi stunting karena intervensi pencegahan stunting — seperti pemeriksaan ibu hamil, kunjungan posyandu, suplementasi, dan imunisasi — tidak sepenuhnya “gratis dari ujung ke ujung” dalam praktiknya.
Walau BPJS Kesehatan telah mengalokasikan dana besar untuk layanan maternal dan neonatal, termasuk skrining tumbuh kembang anak, masih ada potensi beban non-medis yang jatuh pada keluarga, misalnya biaya transportasi ke fasilitas kesehatan, kehilangan pendapatan karena izin kerja, atau biaya makanan tambahan sehat.
Dengan kata lain, meskipun sebagian layanan gizi dijamin, “hambatan ekonomi tersembunyi” tetap bisa membuat keluarga menunda atau melewatkan intervensi gizi kritis pada 1.000 hari pertama kehidupan.
Dan ketika keluarga menahan biaya ini, dampaknya bisa bersifat siklik: stunting berlanjut, performa anak melemah, dan potensi produktivitas masa depan hilang — yang kemudian dapat membebani negara lewat biaya kesehatan jangka panjang dan hilangnya potensi ekonomi.
Dari perspektif ekonomi makro, stunting menyerap biaya besar: penelitian menyebutkan bahwa stunting memiliki “cost of inaction” yang sangat tinggi, baik dari sisi produktivitas maupun beban kesehatan.
Analisis dari Perspektif Ekonomi Kesehatan & OOP
Dengan data terkini ini, beberapa poin analisis dan implikasi kebijakan menjadi lebih nyata:
Kenaikan Angka Stunting = Risiko Ekonomi yang Lebih Besar
Meski sudah ada penurunan sebelumnya, kenaikan ke angka ~19% berarti masih ada kelompok anak yang rentan gizi dan memerlukan intervensi berkelanjutan. Hal ini bisa menekan anggaran rumah tangga jika keluarga harus menanggung kunjungan kesehatan, suplemen, dan nutrisi tambahan.
Intervensi Tepat Sasaran via Kampung Prioritas
Penetapan 20 kampung fokus oleh bupati sangat strategis dari segi alokasi anggaran: bisa digunakan untuk menurunkan biaya OOP (misalnya melalui pos gizi keliling) karena intervensi dilakukan di titik yang paling bermasalah.
Sistem Monitoring yang Meningkat
Penguatan sistem monitoring (data e-PPGBM, website konvergensi) memungkinkan pemerintah kabupaten mengetahui secara real-time di mana intervensi dibutuhkan, dan siapa yang mungkin masih gagal dijangkau — serta mengevaluasi efektivitas program. Hal ini penting agar dana lokal tidak “bocor” dan intervensi menjadi efisien.
Faktor Sosial-Ekonomi: Rokok sebagai Risiko Ganda
Fakta bahwa sebagian besar anak stunting berasal dari keluarga perokok memperlihatkan beban ganda: selain dampak kesehatan gizi, rokok sendiri bisa menjadi penguras anggaran rumah tangga (pengeluaran untuk rokok) yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk gizi anak. Ini adalah area kebijakan potensial: kampanye anti-rokok + edukasi gizi harus berjalan bersamaan.
Potensi Bantuan Non-Medis
Karena stunting terkait dengan banyak faktor non-medis (perokok, pola asuh, sanitasi), pemerintah lokal dapat mempertimbangkan bantuan non-medis: voucher gizi, subsidi transport untuk pos gizi, atau pemberian ikan lokal bergizi dari laut Sangihe sebagai bahan gizi murah.
Investasi Jangka Panjang
Dengan menurunkan stunting, Sangihe tidak hanya mengurangi beban kesehatan jangka pendek, tetapi juga potensi produktivitas anak di masa depan. Ini adalah investasi ekonomi: anak yang tumbuh sehat kemungkinan lebih produktif, lebih mampu bersekolah, dan lebih sedikit menghasilkan beban kesehatan di kemudian hari.
Pentingnya Anggaran Publik & Kolaborasi Lokal
Menghadapi masalah ini, strategi Sangihe — dan daerah lain — seharusnya tidak hanya berfokus pada program gizi, tetapi memperkuat intervensi ekonomi kesehatan. Beberapa poin kebijakan sangat layak diperkuat:
1. Perluasan perlindungan keuangan lokal
Kabupaten Sangihe bersama Pemprov Sulut dan BPJS bisa menyusun skema bantuan transport atau insentif bagi ibu hamil dan keluarga miskin agar kunjungan gizi dan kesehatan benar-benar ringan dari segi biaya.
- Penguatan pos gizi dan posyandu
Pos-pos gizi desa harus menjadi gerbang pertama gizi dan pemantauan tumbuh anak. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa pos gizi ini memiliki cukup tenaga, pelatihan, dan stok suplemen (jika diperlukan), serta dapat menjangkau keluarga paling rentan.
- Data lokal dan intervensi berbasis bukti
Data e-PPGBM yang valid adalah pondasi. Jika 105 kasus tercatat, intervensi harus disasar secara mikro di setiap kampung desa melalui tim TP3S. Keputusan Bupati Sangihe menetapkan lokasi-lokasi prioritas intervensi menunjukkan kesadaran akan pentingnya “kampung fokus”.
- Kolaborasi perikanan dan gizi
Mengingat potensi laut Sangihe sangat besar, pemerintah daerah, dinas perikanan, dan komunitas lokal bisa menginisiasi inovasi produk ikan bergizi — misalnya olahan ikan lokal (bakso ikan, abon ikan) — yang murah, diterima komunitas, dan menyediakan protein penting untuk pertumbuhan anak.
- Memperkuat anggaran nasional dan lokal untuk stunting
Pemerintah pusat sudah mengalokasikan dana besar untuk stunting. Namun, agar efektif di kabupaten terpencil seperti Sangihe, bagian alokasi anggaran itu harus “dibawa turun” ke level desa, dengan mekanisme pertanggungjawaban dan pengukuran hasil.
Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan Data Terbaru
- Alokasikan Anggaran Targeted untuk 20 Kampung Prioritas
Fokus intervensi di kampung prioritas harus didukung anggaran yang memadai untuk pos gizi, kunjungan kesehatan bayi/Ibu hamil, dan penyuluhan gizi.
- Bantu Biaya Non-Kesehatan untuk Keluarga Rawan
Program subsidi transportasi, bantuan gizi rumah tangga, dan voucher makanan bergizi bisa membantu keluarga yang secara ekonomi sulit menjangkau layanan.
- Kampanye Anti-Rokok Khusus Keluarga Berisiko Stunting
Karena rokok menjadi salah satu faktor sosial ekonomi yang berkontribusi, perlu ada integrasi antara program kesehatan gizi dan program pengurangan konsumsi rokok di keluarga.
- Keterlibatan Komunitas Lokal
Gereja (GMIST), posyandu, dan kader gizi harus dilibatkan lebih kuat dalam edukasi gizi dan pemantauan anak. Program “ikan lokal bergizi” bisa dipromosikan melalui komunitas karena potensi laut di Sangihe sangat besar.
- Penguatan Sistem Data dan Evaluasi
Gunakan sistem e-PPGBM dan website konvergensi untuk memantau kasus stunting secara real time, sehingga intervensi bisa cepat diarahkan ke daerah dengan masalah tinggi dan memastikan dana program efektif digunakan.
Kesimpulan
Data terbaru tahun 2024–2025 menunjukkan bahwa walaupun Sangihe sudah melakukan intervensi serius — seperti pos gizi dan penetapan lokasi prioritas — masih ada tantangan signifikan.
Kenaikan prevalensi stunting dan masih adanya ratusan kasus (96 anak per Juli 2025) menunjukkan bahwa penanganan harus dipertajam, terutama dari perspektif keadilan ekonomi: beban OOP non-medis, pengeluaran rokok di keluarga berisiko, dan kebutuhan gizi rumah tangga.
Intervensi yang menggabungkan aspek kesehatan dan ekonomi—seperti subsidi transportasi, kampanye anti-rokok, dan pemanfaatan ikan lokal untuk gizi—adalah strategi kunci agar penurunan stunting di Sangihe tidak hanya menjadi statistik, tapi benar-benar menyentuh kehidupan keluarga paling rentan.
( Asep Gunawan FKPK-RI Sukabumi )









