spot_img
BerandaOPINIOpini: Hipertensi di Poso: Ketika Penyakit Sunyi Membuat Warga Membayar Terlalu Mahal

Opini: Hipertensi di Poso: Ketika Penyakit Sunyi Membuat Warga Membayar Terlalu Mahal

Html code here! Replace this with any non empty text and that's it.

Oleh: Selfina Wati Betulang, SKM

POSO || Journalistpolice.com – Hipertensi sering disebut silent killer —pembunuh senyap—tetapi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, penyakit ini bukan hanya senyap. Ia nyata, dekat, dan diam-diam menguras kantong masyarakat.

Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah 2024 menunjukkan bahwa beban hipertensi di wilayah ini masih tinggi, tetapi hanya sebagian penderita yang benar-benar mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. Artinya, masih banyak warga yang hidup dengan tekanan darah tinggi tanpa kontrol rutin, tanpa obat yang memadai, dan tanpa perlindungan biaya kesehatan yang layak.

Di banyak desa di Poso, hipertensi seperti gunung es: yang terlihat hanya sedikit, tetapi yang tersembunyi jauh lebih besar. Banyak warga hanya datang berobat ketika sudah pusing berat atau bahkan mengalami komplikasi. Di sisi lain, fasilitas layanan primer seperti puskesmas sudah berupaya maksimal, namun faktanya masyarakat masih menghadapi kendala terbesar: pengeluaran langsung dari kantong sendiri, atau out-of-pocket (OOP).

BACA JUGA  Opini: Izin HGU PT MAP Hanya Seluas 7.476,24 Hektar, Fakta di Lapangan Bagaimana?

Ketika Kantong Lebih Sakit dari Tekanan Darah

Salah satu riset nasional menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang tidak ditanggung JKN harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah setiap tahun hanya untuk pemeriksaan dan obat. Pada rumah tangga berpendapatan rendah—yang banyak dijumpai di Poso—jumlah ini sangat berdampak. Banyak pasien akhirnya memilih “menghemat” kunjungan, menunda kontrol, atau mengganti obat yang diresepkan dengan obat murah yang efeknya tidak optimal.

Yang lebih mengkhawatirkan, studi di berbagai negara—including Indonesia—menegaskan bahwa beban OOP menyebabkan pasien berhenti minum obat. Padahal, hipertensi bukan penyakit yang bisa sembuh dengan berhenti berobat. Begitu obat dihentikan, tekanan darah kembali naik, dan risiko stroke, serangan jantung, serta gagal ginjal meningkat drastis.

Ketika komplikasi itu datang, biaya yang harus ditanggung pasien justru berkali-kali lipat lebih besar. Penelitian biaya rawat inap di Indonesia menunjukkan bahwa pasien hipertensi dengan komplikasi dapat menghabiskan lebih dari Rp 7 juta sekali dirawat. Sementara itu, biaya obat antihipertensi generik di puskesmas sebenarnya relatif murah — tetapi aksesnya masih belum merata.

BACA JUGA  Opini: PT MAP Diduga Kuat Langgar Aturan Perizinan, Pemerintah, DPRD dan APH Tutup Mata

Poso di Persimpangan: Akses Ada, Tapi Tidak Terjangkau

Kenyataan di lapangan menunjukkan paradoks: layanan ada, tetapi tidak sepenuhnya terjangkau. Puskesmas menyediakan skrining PTM, posbindu PTM aktif di banyak desa, obat tersedia melalui JKN, tetapi hambatan non-medis seperti biaya transportasi, jauhnya fasilitas, hingga stigma “lebih baik beli obat warung” membuat upaya pencegahan tidak maksimal.

Warga yang tinggal di desa jauh dari kota Poso perlu mengeluarkan ongkos perjalanan yang tidak kecil hanya untuk mengecek tekanan darah atau mengambil obat. Ini membuat hipertensi menjadi penyakit yang seolah “mahal untuk dikelola, murah untuk diabaikan”.

Saatnya Kebijakan Melihat Akar Masalah

Jika pemerintah ingin menekan beban hipertensi sekaligus mengurangi kematian dini, maka masalah biaya langsung harus menjadi perhatian utama.

  1. Perluas manfaat JKN untuk obat dan layanan primer

Pastikan obat antihipertensi esensial selalu tersedia di puskesmas, dan edukasi bahwa obat tersebut benar-benar gratis bagi peserta JKN.

  1. Kurangi biaya non-medis

Pemerintah daerah dapat mempertimbangkan:

subsidi transportasi bagi pasien kurang mampu,

layanan “obat antar desa” melalui kader,

klinik keliling rutin ke daerah terpencil.

Seringkali, kendala terbesar bukan harga obat, tetapi mencapai fasilitas kesehatan.

  1. Bangun registri hipertensi berbasis puskesmas

Data lokal yang kuat memungkinkan petugas melihat siapa yang tidak patuh, siapa yang berisiko tinggi, dan desa mana yang perlu intervensi intensif.

  1. Perkuat edukasi masyarakat

Program posyandu lansia, senam hipertensi, dan konseling gizi perlu menjadi gerakan sosial, bukan sekadar jadwal rutin puskesmas. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik terbukti lebih murah dan efektif daripada merawat komplikasi.

BACA JUGA  Opini: Pendistribusian BBM Solar Bersubsidi di Kotim Dikuasai Pelangsir

Poso Bisa Mengubah Arah

Kabar baiknya, banyak daerah di Indonesia berhasil menekan beban hipertensi dengan memperkuat layanan primer dan memastikan biaya OOP tidak menjadi penghalang. Poso pun bisa melakukan hal yang sama. Penyakit ini memang tidak menimbulkan gejala awal yang dramatis, tetapi dampaknya menghancurkan — baik secara fisik maupun finansial.

Jika kita benar-benar ingin menurunkan angka stroke, gagal ginjal, dan kematian dini di Poso, maka jawabannya bukan hanya menambah fasilitas medis, tetapi juga memastikan tidak ada warga yang harus memilih antara kesehatan dan kebutuhan dapur.

Hipertensi dapat dikendalikan. Yang perlu dijaga adalah agar masyarakat tidak bangkrut saat berusaha melawan penyakitnya.

 ( Asep Gunawan FKPK-RI Sukabumi ) 

BACA JUGA  Opini: Bencana di Kalimantan Akibat Dosa Investor yang Diamini Penguasa

 

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini