SAMPIT – KALTENG ||  Journalistpolice.com – Konflik agraria atau sengketa lahan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), tampaknya masih belum menemukan titik penyelesaian.
Perselisihan antara kelompok masyarakat Desa Penyang dengan PT. Mulia Agro Permai (PT. MAP) kini memasuki babak baru, yakni ranah pidana.
Yang mengemuka justru dugaan upaya hukum yang berpotensi menjerat kelompok masyarakat yang mengklaim memiliki alas hak atas lahan yang mereka sebut telah dirampas dan dikuasai PT. MAP tanpa adanya ganti rugi, dan kini sedang mereka duduki.
Berdasarkan hasil investigasi dan penelusuran Journalistpolice.com di lapangan, konflik agraria antara masyarakat Desa Penyang dan PT. MAP masih terus bergejolak. Kedua belah pihak saling melapor kepada aparat penegak hukum (APH) dan instansi terkait.
Kerja keras aparat dalam menangani persoalan ini sejatinya patut diapresiasi, mengingat prosesnya telah berjalan panjang dan melelahkan. Namun, penyelesaian kasus ini idealnya dilakukan secara profesional, arif, transparan, dan adil, tanpa keberpihakan kepada salah satu pihak.
Menurut kelompok masyarakat, pendudukan lahan tersebut merupakan bentuk perjuangan menuntut hak mereka yang merasa telah dizalimi oleh perusahaan. Selama bertahun-tahun, mereka menilai lahan milik mereka telah diserobot dan dikuasai PT. MAP tanpa ganti rugi.
Konflik ini berdampak serius terhadap masyarakat, yang kehilangan akses terhadap lahan pertanian sumber utama penghidupan mereka. Kondisi ini juga berpotensi menimbulkan ketegangan sosial di wilayah tersebut.
Pada awalnya, aksi pendudukan dilakukan semata-mata untuk menuntut penyelesaian yang adil. Upaya mediasi pun telah dilakukan dan menghasilkan kesepakatan agar kedua pihak menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas di lahan sengketa, termasuk kegiatan panen.
Namun, dalam praktiknya, PT. MAP disebut melanggar kesepakatan dengan tetap melakukan pemanenan di lokasi sengketa, bahkan dengan pengawalan aparat penegak hukum yang semestinya bersikap netral. Hal ini memicu kekecewaan masyarakat, yang kemudian melakukan hal serupa memanen buah sawit di lahan yang dipersengketakan.
Proses panen dari kedua pihak pun berlangsung hampir satu tahun. Ironisnya, pihak perusahaan disebut memanfaatkan aparat untuk mengawal aktivitas panen dan melakukan patroli di lokasi yang merupakan objek sitaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Dalam sejumlah patroli, aparat dikabarkan mengambil hasil panen warga dengan alasan sebagai barang bukti, termasuk peralatan kerja seperti dodos, egrek, dan angkong, meski warga tidak ditangkap.
Perusahaan dan aparat juga disebut berupaya menghentikan aktivitas masyarakat dengan memutus akses jalan menggunakan alat berat, menggali parit, dan menumbangkan pohon sawit agar warga tidak dapat mengangkut hasil panen ke pengepul. Namun, warga berusaha membuka jalur alternatif agar hasil panen tetap bisa keluar dari lokasi sengketa.
Langkah terakhir yang dilakukan perusahaan adalah mengerahkan satuan pengamanan (security) dan aparat untuk membuat pos penjagaan, menggali parit, serta merobohkan puluhan pohon sawit di jalur yang biasa digunakan warga.
Upaya ini, menurut masyarakat, membuat mereka tidak lagi bisa memanen atau menjual hasil kebun, sementara perusahaan tetap bebas beroperasi di bawah pengawalan aparat.
Belakangan, langkah hukum terhadap warga mulai dijalankan. Sejumlah warga diproses secara hukum, dan kasusnya telah naik ke tahap penyidikan terkait dugaan tindak pidana.
Polres Kotiawaringin Timur (Polres Kotim) bahkan telah mengeksekusi empat pondok milik warga di lokasi sengketa. Pondok-pondok itu dirobohkan, dan seluruh barang di dalamnya diangkut dengan alasan untuk kepentingan penyidikan.
Tindakan eksekusi paksa tersebut disebut dilakukan berdasarkan izin dan perintah dari Pengadilan Negeri Sampit yang dilaksanakan pada Kamis, 6 November lalu.
Terkait tudingan masyarakat terhadap ketidaknetralan aparat penegak hukum yang dinilai berpihak kepada perusahaan dan berupaya melakukan kriminalisasi terhadap kelompok warga akan dibahas lebih lanjut dalam pemberitaan berikutnya.
Masyarakat menilai bahwa sekecil apa pun kesalahan warga kecil selalu dipermasalahkan, sementara pelanggaran besar yang diduga dilakukan perusahaan justru luput dari perhatian aparat.
Padahal, menurut informasi yang berkembang, legalitas perusahaan juga diduga bermasalah dan berpotensi merugikan keuangan negara, termasuk terkait penggarapan di luar izin dan perambahan kawasan hutan, demikian
Penulis: Misnato — Petualang Jurnalis, Asal Kota Sampit.









